Pergolakan Bangsa: Dari Reformasi Hingga Harapan yang Tertukar

Tragedi Trisakti, yang memakan korban 4 mahasiswa, yang kemudian diikuti oleh demonstrasi besar-besaran yang dilakukan para mahasiswa dan berbagai lapisan masyarakat lainnya, menjadi titik terang bagi perjuangan rakyat yang telah lama dicengkeram oleh penguasa bertangan besi.
Kabar tentang peristiwa tersebut menyita perhatian saya. Hampir setiap saat, mata dan telinga ini terpaku pada layar televisi dan suara dari radio, mencoba mencerna setiap berita yang datang silih berganti. Sejarah sedang ditulis, dan saya tidak ingin melewatkan satu pun momen itu.
Ketika Presiden Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya, seolah dunia baru akan dimulai. Rasa gembira menyelubungi hati, seakan membawa harapan yang begitu lama dinanti. Era Reformasi pun dimulai, meninggalkan dibaliknya bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Perayaan dan sorak gembira pun bergema di mana-mana. Rakyat yang selama ini terdiam, kini bersuara dengan penuh semangat, menyambut angin perubahan. Setelah 32 tahun di bawah cengkeraman Orde Baru, akhirnya pintu reformasi telah terbuka.
Kita, sebagai bangsa, dihadapkan pada peluang baru untuk merajut cita-cita dan aspirasi yang sempat tertunda. Kegembiraan ini, bagaikan dini hari yang baru, memecah kesunyian malam yang panjang dan gelap.
Namun, kini kegembiraan tersebut pelan-pelan mulai terkikis oleh kenyataan pahit yang tersingkap belakangan. Era reformasi yang seharusnya membawa perubahan positif, perlahan namun pasti, mulai disusupi oleh praktik-praktik lama yang sebelumnya kita perjuangkan untuk dihilangkan.
Nepotisme, salah satu 'monster' lama, kini kembali menggeliat di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan besar kemungkinan jadi semakin hidup di bawah kepemimpinan bakal penggantinya, Prabowo Subianto.
Ironinya, mereka berdua seolah melupakan sejarah panjang yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia. Pengkhianatan terhadap semangat reformasi menjadi semakin nyata ketika praktik nepotisme tidak hanya dihidupkan kembali, namun dibudayakan dengan cara yang lebih halus dan terstruktur.
Saya, seperti banyak rakyat Indonesia lainnya, merasa dikhianati. Harapan dan cita-cita reformasi yang semula bersinar terang, kini terasa redup, tertutup oleh kekecewaan yang mendalam. Bagaimana mungkin, para pemimpin yang diharapkan akan membawa perubahan, ternyata justru menjalankan praktek-praktek yang sudah seharusnya ditinggalkan di masa lalu.
Kisah ini, bagaikan ironi yang menyakitkan, mengingatkan kita semua bahwa perjuangan tidak berhenti hanya karena satu era telah berakhir. Sebaliknya, perjuangan harus terus berlanjut, lebih gigih dari sebelumnya, untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar adil, makmur, dan berintegritas.
Kini, saya dan kita semua dihadapkan pada pilihan: melanjutkan perjuangan atau diam terpaku dalam kekecewaan. Diperlukan refleksi mendalam dan langkah konkret dari kita semua, sebagai bangsa, untuk memastikan bahwa tumpuan harapan tidak lagi digadaikan oleh kepentingan-kepentingan sempit.
Pergolakan era reformasi harus menjadi pelajaran bagi kita semua untuk terus berjaga dan berjuang, demi sebuah Indonesia yang lebih baik. Masa depan bangsa ini ada di tangan kita, dan waktunya kita kembali mengambil alih narasi tersebut, melanjutkan perjuangan yang belum selesai yang disertai berbagai macam gangguan. Ary Suryanto 12 Mei 2024
0 Dilihat
Baca juga
0 Response to "Pergolakan Bangsa: Dari Reformasi Hingga Harapan yang Tertukar"
Posting Komentar